LAPORAN MINI RISET
“INTERELASI TRADISI PUPUTAN DI DAERAH PEKALONGAN DAN
SEKITARNYA
DENGAN
KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEKITAR”
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam
dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu
: M. Rikza Chamami, M.SI
Oleh:
ATINA
RUSYDAH
NIM.
133511056
FAKULTAS SAINS DAN ILMU TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
INTERELASI TRADISI PUPUTAN DI DAERAH PEKALONGAN DAN
SEKITARNYA
DENGAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT
SEKITAR
I.
PENDAHULUAN
Di era
modern seperti sekarang ini, budaya asing banyak merajai dunia kesenian maupun
fashion di Indonesia. Tidak hanya itu saja, dengan adanya globalisasi sangat
mempengaruhi kebudayaan nasional. Salah satunya adalah beralihnya masyarakat
untuk menggemari budaya asing. Inilah yang menyebabkan semakin terkikisnya
budaya nasional sebagai jati diri masyarakat Indonesia. Seperti sudah
diketahui, bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki
berbagai kebudayaan masing-masing. Contohnya adalah suku Jawa. Di suku Jawa
masih banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih berkembang dan masih
dilakukan, seperti tradisi puputan prosesi
setelah bayi dilahirkan. Tradisi ini memang tidak semua masyarakat melaksanakan,
namun sebagian kecil masyarakat, khususnya di daerah Pekalongan masih melakukan
tradisi ini.
Dalam menyambut kelahiran bayi orang jawa memiliki beberapa upacara
penting yang biasa dilakukan. Berbagai upacara ini bertujuan sebagai rasa
syukur atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa momongan
yang menjadi harapan setiap keluarga. Selain sebagai satu bentuk rasa syukur,
berbagai upacaraa tradisi jawa untuk menyambut kelahiran bayi biasanya juga
dilangsungkan sebagai salah satu bentuk doa agar si bayi dan keluarganya selalu
diberi kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan oleh Yang Kuasa.
Masih banyak para masyarakat yang kurang mengetahui macam-macam adat
istiadat kebudayaan mereka oleh karena itu penulis dalam mini riset ini
mengambil judul “Interelasi tradisi puputan
di daerah Pekalongan dan sekitarnya dengan kepercayaan masyarakat sekitar”,
dengan
harapan dapat menggali lebih jauh makna sekaligus presepsi masyarakat seputar
tradisi tersebut di daerah Pekalongan, terlepas dari apa yang mereka yakini.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian Field Research atau penelitian
lapangan. Metode Field Research adalah salah satu metode pengumpulan
data dalam penelitian kualitatif secara langsung ke lapangan dengan
mempergunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi
dokumentasi. Jadi dengan terjun secara langsung di lapangan kami berharap akan
mendapatkan informasi lebih jauh tentang tradisi puputan di daerah Pekalongan, tanpa maksud mengubah
pandangan budaya.
II.
LANDASAN
TEORI
Dhautan atau puputan
berasal dari kata dhaut atau puput yang berarti lepas. Barangkali
istilah ini bagi sebagian orang, terutama yang berasal dari luar tradisi Jawa
terasa asing, namun bagi kalangan
masyarakat di Jawa, istilah ini merupakan istilah biasa, yakni selamatan
untuk menandai bahwa anak yang baru dilahirkan telah putus pusarnya. Bagi orang
tua yang cukup mampu, biasanya acara puputan tersebut dibarengkan dengan
aqiqahan atau menyembelih hewan seperti hewan kurban yang diperuntukkan bagi
bayi tersebut dan kemudian dagingnya dibagikan kepada para tetangga dan
kerabat.[1]
Tali pusar atau
umbilical cord adalah saluran
kehidupan bagi janin selama dalam kandungan. Dikatakan saluran kehidupan karena
saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat-zat gizi dan oksigen
ke janin. Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi
sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit.[2]
Sisa tali pusat yang masih menempel di perut bayi
(umbilical stump), akan mengering dan biasanya akan terlepas sendiri dalam
waktu 1-3 minggu, meskipun ada juga yang baru lepas setelah 4 minggu. Umumnya orangtua
baru, agak takut-takut menangani bayi baru lahirnya, karena keberadaan si
umbilical stump ini. Meski penampakannya sedikit ’mengkhawatirkan’, tetapi
kenyataannya bayi tidak merasa sakit atau terganggu karenanya.[3]
III.
KONDISI
LAPANGAN
Tradisi puputan sudah
lama berkembang di daerah Pekalongan. Terutama daerah-daerah yang jauh dari
kota. Tradisi ini selalu dilakukan setelah 1-3 minggu, bahkan ada juga yang 4
minggu dari kelahiran bayi tergantung lepasnya tali pusar.
IV.
ANALISIS
LAPANGAN
Tradisi kelahiran dalam adat budaya Jawa salah satunya adalah puputan. Upacara puputan bertujuan memohon keselamatan bagi si bayi. Upacara puputan
dilakukan ketika tali pusar yang menempel pada perut bayi sudah putus. Orang
tua jaman dulu melaksanakan upacara puputan dengan menyediakan berbagi
macam sesaji, namun masyarakat jawa modern biasanya acara puputan
dibuat bersamaan dengan upacara sepasaran ataupun selapanan,
hal ini tergantung kapan tali pusar putus dari pusar bayi.
Dari hasil wawancara peneliti dengan narasumber upacara
yang dilakukan di daerah Pekalongan, meliputi:
a.
Membuat bubur merah putih yang berarti merah
menandakan pemberani dan putih yang berarti suci dibagikan kepada para tetangga
pada siang hari sambil menghaturi tetangga untuk memangku bayi sehabis maghrib
b.
Dukun bayi menyuruh ibu bayi menyiapkan kembang telon
(melati, mawar, kenanga), pisang satu sisir, sapu lidi, pisau atau benda tajam
lainnya dan ditaruh dibawah kolong tempat
tidur. Mereka meyakininya untuk tolak
balak atau mengusir kesialan.
c.
Dukun bayi membuat sambetan yang terbuat dari kunir
dan beras yang direndam, kemudian kedua bahan tersebut dihaluskan. Dan
dioleskan kepada ibu bayi di sekitar dahi, leher bagian belakang, tangan, dan
kaki. Hal ini juga dipercaya untuk menolak balak.
d.
Ibu disuruh tirakat
untuk tidak makan pada malam hari, mereka meyakini dengan tidak makan malam
hari akan mempercepat proses penyembuhan setelah melahirkan.
e.
Setelah maghrib ibu bayi dan bayinya diharuskan tetap
berada di tempat tidur, dan para tetangga bergiliran memangku bayi diatas
tempat tidur sambil dibacakan kitab berzanji secara berjamaah. Setelah bayinya bersin, bayi diserahkan kembali ke ibu
bayi.
Waktu penyelenggaraan upacara puputan tidak dapat ditentukan secara pasti
karena putusnya tali pusar masing-masing bayi tidak sama. Adakalanya tali pusar
lepas setelah bayi berumur satu minggu, adakalanya kurang dari satu minggu.
Upacara ini diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh bayi, ibu, dukun,
pinisepuh, dan sanak saudara.
Bayi perempuan setelah tali pusarnya lepas,
pusarnya ditutupi dengan biji
ketumbar sedangkan laki-laki ditutupi dengan biji merica dengan dilekati obat
tradisional Jawa berupa ramuan benangsari bunga nagasari, dan lain-lain yang
ditumbuk sampai halus. Tali pusar yang barusaja putus dibungkus dengan kain
banguntulak untul bantal si bayi sampai bayi berumur selapan (35 hari).
ketumbar sedangkan laki-laki ditutupi dengan biji merica dengan dilekati obat
tradisional Jawa berupa ramuan benangsari bunga nagasari, dan lain-lain yang
ditumbuk sampai halus. Tali pusar yang barusaja putus dibungkus dengan kain
banguntulak untul bantal si bayi sampai bayi berumur selapan (35 hari).
Biasanya dalam puputan tersebut juga ditandai dengan memberikan nama bagi sang
bayi. Pemberian nama tersebut memang menurut Nabi dianjurkan untuk dilakukan
dalam suatu pesta atau walimah, namun hal tersebut bukan merupakan kewajiban,
dan hanya dianjurkan bagi yang mampu saja.
Sedangkan bagi yang kurang mampu pemberian nama tersebut dapat dilakukan
kapan saja dan tidak harus dengan mengadakan walimah.
V.
KESIMPULAN
Tradisi puputan merupakan salah
satu dari tradisi kelahiran dalam budaya Jawa. Puputan merupakan saat tali pusar bayi putus atau puput. Pada saat itu diadakan selamatan puputan berupa kenduri, bancakan dan
pemberian nama bayi. Upacara ini diadakan setelah maghrib yang dihadiri oleh
bayi, Ibu-ibu, dukun bayi, pini sepuh dan sanak saudara.
Upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan bagi si bayi.
Tradisi puputan ini bersifat “sunah”. Apabila dilaksanakan lebih baik dengan harapan melalui upacara-upacara yang dilaksanakan dapat menciptakan kebaikan pada ibu dan bayinya. Menurut masyarakat upacara tersebut bermaksud untuk melakukan permohonan pada Tuhan agar mengaruniakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan pada bayi dan keluarganya baik di dunia maupun akhirat.
Tradisi puputan ini bersifat “sunah”. Apabila dilaksanakan lebih baik dengan harapan melalui upacara-upacara yang dilaksanakan dapat menciptakan kebaikan pada ibu dan bayinya. Menurut masyarakat upacara tersebut bermaksud untuk melakukan permohonan pada Tuhan agar mengaruniakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan pada bayi dan keluarganya baik di dunia maupun akhirat.
Semoga masyarakat nantinya akan dapat
memanfaatkan acara puputan tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan
pengetahuan mereka dalam hal syariat, dan sekaligus dapat menjalin silaturahmi dengan sesama
masyarakat. Amin.
VI.
SARAN
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis,
semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu mini riset
yang singkat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan laporan mini riset ini dan
yang selanjutnya. Terimakasih.
VII.
LAMPIRAN
a.
Biodata Penulis
Nama : Atina Rusydah
Tempat,
Tanggal Lahir : Pekalongan, 09 Juni
1995
Alamat : Simbang Kulon gang
V, RT/RW: 19/06
Buaran Pekalongan
Pekerjaan : Mahasiswa S1
Pendidikan Matematika UIN Walisongo
Semarang
b.
Biodata
Narasumber
Nama :
Nurul Khotimah
Tempat, Tanggal Lahir :
Pekalongan, 17 Agustus 1969
Alamat : Simbang Kulon gang
V, RT/RW: 19/06
Buaran Pekalongan
Pekerjaan :
Ibu Rumah Tangga
c.
Dokumentasi
Foto
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Magdalena. 2005. Sejarah Tradisi.Jakarta : Erlangga.
M.D, Dagimun. 1987. Peninggalan Sejarah Tradisi Kuno. Jakarta : CV. Haji Masagung
Soemarno. 1987. Tradisi Budaya. Yogyakarta : Galaxy Puspa Mega
Tidak ada komentar:
Posting Komentar