Sabtu, 26 Desember 2015



LAPORAN MINI RISET
INTERELASI TRADISI PUPUTAN DI DAERAH PEKALONGAN DAN SEKITARNYA
DENGAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEKITAR


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI


Oleh:

ATINA RUSYDAH
NIM. 133511056

FAKULTAS  SAINS DAN ILMU TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

INTERELASI TRADISI PUPUTAN DI DAERAH PEKALONGAN DAN SEKITARNYA
DENGAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEKITAR
I.                   PENDAHULUAN
Di era modern seperti sekarang ini, budaya asing banyak merajai dunia kesenian maupun fashion di Indonesia. Tidak hanya itu saja, dengan adanya globalisasi sangat mempengaruhi kebudayaan nasional. Salah satunya adalah beralihnya masyarakat untuk menggemari budaya asing. Inilah yang menyebabkan semakin terkikisnya budaya nasional sebagai jati diri masyarakat Indonesia. Seperti sudah diketahui, bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki berbagai kebudayaan masing-masing. Contohnya adalah suku Jawa. Di suku Jawa masih banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih berkembang dan masih dilakukan, seperti tradisi puputan prosesi setelah bayi dilahirkan. Tradisi ini memang tidak semua masyarakat melaksanakan, namun sebagian kecil masyarakat, khususnya di daerah Pekalongan masih melakukan tradisi ini.
Dalam menyambut kelahiran bayi orang jawa memiliki beberapa upacara penting yang biasa dilakukan. Berbagai upacara ini bertujuan sebagai rasa syukur atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa momongan yang menjadi harapan setiap keluarga. Selain sebagai satu bentuk rasa syukur, berbagai upacaraa tradisi jawa untuk menyambut kelahiran bayi biasanya juga dilangsungkan sebagai salah satu bentuk doa agar si bayi dan keluarganya selalu diberi kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan oleh Yang Kuasa.
Masih banyak para masyarakat yang kurang mengetahui macam-macam adat istiadat kebudayaan mereka oleh karena itu penulis dalam mini riset ini mengambil judul “Interelasi tradisi puputan di daerah Pekalongan dan sekitarnya dengan kepercayaan masyarakat sekitar”, dengan harapan dapat menggali lebih jauh makna sekaligus presepsi masyarakat seputar tradisi tersebut di daerah Pekalongan, terlepas dari apa yang mereka yakini.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian Field Research atau penelitian lapangan. Metode Field Research adalah salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara langsung ke lapangan dengan mempergunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Jadi dengan terjun secara langsung di lapangan kami berharap akan mendapatkan informasi lebih jauh tentang tradisi puputan di daerah Pekalongan, tanpa maksud mengubah pandangan budaya.

II.                LANDASAN TEORI
Dhautan atau puputan berasal dari kata dhaut atau puput yang berarti lepas. Barangkali istilah ini bagi sebagian orang, terutama yang berasal dari luar tradisi Jawa terasa asing, namun bagi kalangan  masyarakat di Jawa, istilah ini merupakan istilah biasa, yakni selamatan untuk menandai bahwa anak yang baru dilahirkan telah putus pusarnya. Bagi orang tua yang cukup mampu, biasanya acara puputan tersebut dibarengkan dengan aqiqahan atau menyembelih hewan seperti hewan kurban yang diperuntukkan bagi bayi tersebut dan kemudian dagingnya dibagikan kepada para tetangga dan kerabat.[1]
Tali  pusar atau umbilical cord adalah saluran kehidupan bagi janin selama dalam kandungan. Dikatakan saluran kehidupan karena saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke janin. Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit.[2]
Sisa tali pusat yang masih menempel di perut bayi (umbilical stump), akan mengering dan biasanya akan terlepas sendiri dalam waktu 1-3 minggu, meskipun ada juga yang baru lepas setelah 4 minggu. Umumnya orangtua baru, agak takut-takut menangani bayi baru lahirnya, karena keberadaan si umbilical stump ini. Meski penampakannya sedikit ’mengkhawatirkan’, tetapi kenyataannya bayi tidak merasa sakit atau terganggu karenanya.[3]

III.             KONDISI LAPANGAN
Tradisi puputan sudah lama berkembang di daerah Pekalongan. Terutama daerah-daerah yang jauh dari kota. Tradisi ini selalu dilakukan setelah 1-3 minggu, bahkan ada juga yang 4 minggu dari kelahiran bayi tergantung lepasnya tali pusar.

IV.             ANALISIS LAPANGAN
Tradisi kelahiran dalam adat budaya Jawa salah satunya adalah puputan. Upacara puputan bertujuan memohon keselamatan bagi si bayi. Upacara puputan dilakukan ketika tali pusar yang menempel pada perut bayi sudah putus. Orang tua jaman dulu melaksanakan upacara puputan dengan menyediakan berbagi macam sesaji, namun masyarakat jawa modern biasanya acara puputan dibuat bersamaan dengan upacara sepasaran ataupun selapanan, hal ini tergantung kapan tali pusar putus dari pusar bayi.
Dari hasil wawancara peneliti dengan narasumber upacara yang dilakukan di daerah Pekalongan, meliputi:
a.       Membuat bubur merah putih yang berarti merah menandakan pemberani dan putih yang berarti suci dibagikan kepada para tetangga pada siang hari sambil menghaturi tetangga untuk memangku bayi sehabis maghrib
b.      Dukun bayi menyuruh ibu bayi menyiapkan kembang telon (melati, mawar, kenanga), pisang satu sisir, sapu lidi, pisau atau benda tajam lainnya dan ditaruh dibawah kolong tempat tidur. Mereka meyakininya untuk tolak balak atau mengusir kesialan.
c.       Dukun bayi membuat sambetan yang terbuat dari kunir dan beras yang direndam, kemudian kedua bahan tersebut dihaluskan. Dan dioleskan kepada ibu bayi di sekitar dahi, leher bagian belakang, tangan, dan kaki. Hal ini juga dipercaya untuk menolak balak.
d.      Ibu disuruh tirakat untuk tidak makan pada malam hari, mereka meyakini dengan tidak makan malam hari akan mempercepat proses penyembuhan setelah melahirkan.
e.       Setelah maghrib ibu bayi dan bayinya diharuskan tetap berada di tempat tidur, dan para tetangga bergiliran memangku bayi diatas tempat tidur sambil dibacakan kitab berzanji secara berjamaah. Setelah bayinya bersin, bayi diserahkan kembali ke ibu bayi.
Waktu penyelenggaraan upacara puputan tidak dapat ditentukan secara pasti karena putusnya tali pusar masing-masing bayi tidak sama. Adakalanya tali pusar lepas setelah bayi berumur satu minggu, adakalanya kurang dari satu minggu. Upacara ini diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh bayi, ibu, dukun, pinisepuh, dan sanak saudara.
Bayi perempuan setelah tali pusarnya lepas, pusarnya ditutupi dengan biji
ketumbar sedangkan laki-laki ditutupi dengan biji merica dengan dilekati obat
tradisional Jawa berupa ramuan benangsari bunga nagasari, dan lain-lain yang
ditumbuk sampai halus. Tali pusar yang barusaja putus dibungkus dengan kain
banguntulak untul bantal si bayi sampai bayi berumur selapan (35 hari).
Biasanya dalam puputan tersebut juga ditandai dengan memberikan nama bagi sang bayi. Pemberian nama tersebut memang menurut Nabi dianjurkan untuk dilakukan dalam suatu pesta atau walimah, namun hal tersebut bukan merupakan kewajiban, dan hanya dianjurkan bagi yang mampu saja.  Sedangkan bagi yang kurang mampu pemberian nama tersebut dapat dilakukan kapan saja dan tidak harus dengan mengadakan walimah.

V.                KESIMPULAN
Tradisi puputan merupakan salah satu dari tradisi kelahiran dalam budaya Jawa. Puputan merupakan saat tali pusar bayi putus atau puput. Pada saat itu diadakan selamatan puputan berupa kenduri, bancakan dan pemberian nama bayi. Upacara ini diadakan setelah maghrib yang dihadiri oleh bayi, Ibu-ibu, dukun bayi, pini sepuh dan sanak saudara.
Upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan bagi si bayi.
Tradisi puputan ini bersifat “sunah”. Apabila dilaksanakan lebih baik dengan harapan melalui upacara-upacara yang dilaksanakan dapat menciptakan kebaikan pada ibu dan bayinya. Menurut masyarakat upacara tersebut bermaksud untuk melakukan permohonan pada Tuhan agar mengaruniakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan pada bayi dan keluarganya baik di dunia maupun akhirat.
Semoga masyarakat nantinya akan dapat memanfaatkan acara puputan tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan mereka dalam hal syariat, dan sekaligus  dapat menjalin silaturahmi dengan sesama masyarakat. Amin.

VI.             SARAN
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu mini riset yang singkat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan laporan mini riset ini dan yang selanjutnya. Terimakasih.

VII.          LAMPIRAN
a.       Biodata Penulis
Nama                              : Atina Rusydah
Tempat, Tanggal Lahir    : Pekalongan, 09 Juni 1995
Alamat                            : Simbang Kulon gang V, RT/RW: 19/06
                                          Buaran Pekalongan
Pekerjaan                  : Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika UIN   Walisongo Semarang

b.      Biodata Narasumber
Nama                              : Nurul Khotimah
Tempat, Tanggal Lahir    : Pekalongan, 17 Agustus 1969
Alamat                            : Simbang Kulon gang V, RT/RW: 19/06
                                          Buaran Pekalongan
Pekerjaan                        : Ibu Rumah Tangga

c.       Dokumentasi Foto

   



DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Magdalena. 2005. Sejarah Tradisi.Jakarta : Erlangga.
M.D, Dagimun. 1987. Peninggalan Sejarah Tradisi Kuno. Jakarta : CV. Haji Masagung
Soemarno. 1987. Tradisi Budaya. Yogyakarta : Galaxy Puspa Mega
           


[1] Magdalena Alfian, Sejarah Tradisi (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 98.
[2] Dagimun M.D, Peninggalan Sejarah Tradisi Kuno (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987), hlm. 257.
[3] Soemarno, Tradisi Budaya (Yogyakarta: Galaxy Puspa Mega, 1987), hlm. 134.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar